Siapa yang tak mengenal, atau setidaknya pernah mendengar tentang Danau Toba? Perairan seluas tak kurang dari 1.103 km2 yang terhampar molek, keindahan bukit hijau berdinding cadas, keramahtamahan warga lokal, serta pesona kekayaan budaya Batak adalah sekelumit daya tarik yang membuatnya selalu menjadi buah bibir. Dengan apa yang dimiliki, Danau Toba sesungguhnya dapat terus dikembangkan hingga menjadi obyek wisata bertaraf internasional yang mampu menarik perhatian wisatawan lokal maupun mancanegara. Maka, tidaklah mengherankan jika aku merasa bangga terhadap Danau Toba dan Sumatera Utara.
Agar Danau Toba dan Sumatera Utara terus membanggakan semua, mutlak dibutuhkan adanya kreativitas dan inovasi. Inovasi di sini hendaknya tidak selalu dikaitkan dengan penguasaan teknologi tinggi, melainkan juga dimaknai sebagai upaya penciptaan nilai, ide, gagasan baru dalam beragam aspek kehidupan. Lazimnya, inovasi bukanlah sesuatu yang dapat diatur atau dipaksakan oleh pemerintah, melainkan harus disemai agar bertumbuh sebagai wujud kehendak bebas dan inisiatif warga masyarakat. Demi menyemai kegairahan berinovasi, aku bangga memiliki kekayaan budaya yang diwariskan oleh nenek moyang bangsa Indonesia, yakni kearifan lokal.
Terkait pengembangan pariwisata Danau Toba, sesungguhnya tidaklah sulit menemukenali berbagai kearifan lokal membanggakan yang hidup dan menghidupi masyarakat lokal (baca: etnis Batak). Kearifan lokal dapat ditemui dalam nyanyian, pepatah, petuah, ataupun semboyan kuno yang melekat pada keseharian. Khusus mengenai Danau Toba, bahkan ada pepatah yang menyatakan ‘unang ma mate ho molo ndang dope diliati ho Tao Toba’ (Janganlah tinggalkan dunia ini sebelum Anda mengelilingi Danau Toba).
Pada masyarakat Batak, terdapat kearifan lokal yang menekankan pentingnya dibentuk persekutuan keluarga (punguan) di daerah perantauan dan kampung halaman (bona pasogit). Kearifan lokal tersebut sesungguhnya sangat bermakna dalam merekatkan solidaritas antar anggota masyarakat. Bila benar-benar dipedomani, maka kegairahan untuk berinovasi dan mengembangkan diri dipastikan meningkat karena dirasa bermanfaat bagi kepentingan bersama. Kemajuan salah satu pihak akan dipandang sebagai kemajuan membanggakan dan dapat dimanfaatkan demi mengangkat harkat sesama. Sebaliknya, kemunduran harus dihindari karena merugikan semua orang.
Sebagai contoh, pengembangan pariwisata Danau Toba dipastikan akan mampu mengangkat taraf kesejahteraan masyarakat. Warga setempat, misalnya, bisa memanfaatkan kunjungan wisatawan untuk memperoleh penghasilan. Kamar yang tidak terpakai di rumah, bisa disewakan kepada para wisatawan yang ingin melepas lelah sejenak atau bermalam ditemani syahdunya orkestra alam dari kejauhan. Selain itu, masih banyak lagi kegiatan wisata yang dapat difasilitasi oleh warga dengan menjual jasa, seperti menawarkan paket wisata jalan kaki mengunjungi obyek-obyek berpanorama alam memikat di sekeliling Danau Toba sembari berburu foto, wisata budaya ke berbagai situs peninggalan sejarah (makam batu, rumah adat Batak, desa tradisional, Patung Sigale-Gale), atau mengunjungi tempat pembuatan kain ulos kebanggaan suku Batak. Jika Museum Batik Danar Hadi di Solo (Jawa Tengah) bisa menarik perhatian begitu banyak wisatawan untuk berkunjung dan belajar membatik, tentunya hal serupa bisa dilakukan dengan mendirikan Museum Ulos hanya sepelemparan batu dari Danau Toba. Tak perlu megah atau menelan biaya miliaran rupiah, suasana serba tradisional justru akan lebih berkesan bagi para wisatawan.
Tidak hanya itu sebenarnya. Wisata ke Danau Toba pun bisa dikemas sebagai wisata indera pengecap dengan mengandalkan kekayaan kuliner membanggakan khas Batak. Ragam masakan seperti sayur daun ubi tumbuk, ayam gota (ayam kampung yang dibakar, dibumbui andaliman dan aneka rempah lain), naniura (sejenis sashimi dari ikan mas berbumbu rempah), arsik (masakan ikan mas berbumbu kuning), bagot horbo (susu kerbau), sambal tinuktuk (sambal khas Batak yang dibuat dari lada hitam, jahe, kencur, wijen hitam, andaliman, dan ragam rempah), serta banyak lagi lainnya. Tentunya, dibutuhkan kreativitas dalam penyajian agar tampilannya tampak menarik dan bersih. Ketajaman rempahnya pun perlu disesuaikan dengan pencernaan wisatawan mancanegara yang tak terlalu terbiasa dengan sengatan rempah-rempah khas negeri tropis.
Di masa mendatang, alangkah baiknya pula bila inovasi demi inovasi dalam mengemas potensi Danau Toba menjadi daya tarik pariwisata membanggakan, dapat diwadahi dalam kegiatan kreatif berskala internasional. Sebut saja, dengan mengusung tajuk Danau Toba International Cultural Festival sebagai perluasan dan penyempurnaan dari ajang Pesta Danau Toba yang telah rutin digelar tiap tahunnya. Pendanaan kegiatan tersebut tak lagi bersumber dari APBN maupun APBD, melainkan disponsori sepenuhnya oleh swasta, sehingga terhindar dari tarik ulur berbagai kepentingan dan murni ditujukan demi kemajuan pariwisata kreatif Danau Toba. Kemajuan yang akan mengangkat taraf hidup masyarakat, sekaligus mengharumkan nama Indonesia sebagai negeri dengan sejuta pesona.
Lazimnya inovasi, tentunya takkan mungkin terjadi bila tak didukung oleh penguasaan ilmu pengetahuan dan teknologi yang memadai. Ini sudah diingatkan sejak dahulu oleh kearifan lokal Batak. Mencari pengetahuan itu adalah keharusan bagi setiap orang. Pencarian pengetahuan harus dijalani dengan upaya maksimal demi kemajuan (hamajuon).
Dalam batas kewajaran, tanpa memaksakan diri atau menyalahi aturan, segenap anggota masyarakat selanjutnya diharapkan tetap berusaha meningkatkan taraf, harkat, dan martabat kehidupannya, di antaranya dengan mengusahakan dan selalu berupaya meningkatkan kehormatan (hasangapon) dan kekayaan (hamoraon) yang dimilikinya. Masalah atau hambatan, sedahsyat apa pun itu, hendaknya tidak dijadikan alasan untuk berhenti berinovasi.
Walau dibatasi oleh kefanaan, tetapi kearifan lokal yang juga cukup menonjol dalam masyarakat Batak ialah bahwa ikhtiar dan kerja keras sepatutnya tanpa kenal lelah, dilakukan secara bergotong royong (marsirimpa) dan saling membantu (marsiadapari). Bila dimaknai secara mendalam, ini berarti bahwa setiap orang harus ulet dalam bekerja untuk mencukupi kebutuhan hidupnya sendiri dan keluarga. Keuletan serta produktivitas kerja dipandang sebagai hal berharga. Dengan demikian, tak mengherankan bila yang timbul kemudian adalah semangat untuk senantiasa berinovasi dan meningkatkan kinerja. Perlu diingat pula bahwa bekerja tidak boleh sembarangan, tergesa-gesa, atau asal jadi, melainkan harus teliti, cermat, dan penuh perhitungan, supaya memperoleh hasil gemilang membanggakan.
Demi mempertahankan harmoni kehidupan sosial dan semakin memperluas pergaulan guna mendukung inovasi, hubungan antar anggota masyarakat hendaknya dilandasi oleh prinsip hormat, diawali penghormatan kepada kedua orang tua (molo naeng ho martua di tano on, pasangap me natorasmu), teman semarga (dongan sabutuha), pihak marga lain yang menikahi gadis yang semarga dengan kita (boru), orangtua dari istri (hula-hula), hingga warga masyarakat dari etnis lain. Diharapkan, masing-masing anggota masyarakat lantas akan terbiasa dengan sikap saling menghormati serta mampu mengembangkan prinsip empati dan toleransi.
Selain itu, budaya Batak juga mengajak segenap masyarakatnya untuk terlibat berinovasi dan memberikan kontribusi positif bagi pembangunan nasional. Inovasi bukan hanya terjadi pada tingkat individu atau komunitas. Pemerintah pun berinovasi dalam kerangka formal. Maka, kebijaksanaan (bisuk), kerja keras demi mencapai kemakmuran (hadumaon), persatuan dan kekompakan (parsadaan) baik antar pemimpin, antar rakyat, maupun antara rakyat dan pemimpin, serta semangat menegakkan hukum dan kebenaran (patik dohot uhum) dapat diarahkan untuk meningkatkan dukungan serta partisipasi terhadap berbagai program pembangunan yang sedang digulirkan.
Pada akhirnya, inovasi semestinya pula mempertimbangkan prinsip pembangunan berkelanjutan (sustainable development), agar dapat sejalan dengan upaya mempertahankan kelestarian alam dan daya dukung lingkungan. Hal dimaksud sesungguhnya telah ditegaskan oleh kearifan lokal Batak dalam pepatah ’sinuan bulu sibahen na las, sinuan partuturan sibahen na horas’ (tujuan menanam batang bambu adalah agar kampung terlindung dan nyaman, demikian pula tujuan pembentukan kekerabatan agar hubungan semakin akrab harmonis). Pepatah yang menyandingkan alam dengan kehidupan sosial ini menekankan betapa eratnya keterkaitan antara keduanya. Lebih jauh lagi, sebuah perumpamaan juga menyebut bahwa penanaman pohon tertentu akan mendatangkan kesejukan dan kebahagiaan (martantan ma baringin, marurat jabi-jabi. Horas ma tondi madingin, tumpahon ni Ompunta Mulajadi).
IInovasi demi inovasi hingga tanpa batas, didorong oleh kearifan lokal inilah yang diyakini mampu mendukung pengembangan pariwisata dalam kerangka ekonomi kreatif di Danau Toba. Bila tetap berpegang teguh pada petuah nenek moyang masyarakat Batak, yakni ’Ompu na jolo martungkothon siala gundi, pinungka ni ompu na parjolo diihuthon na di pudi’ (nilai-nilai luhur yang dibangun nenek moyang akan diikuti dan dilanjutkan generasi penerus di kemudian hari) niscaya kemolekan Danau Toba akan kian membanggakan. Bukan hanya bagiku, melainkan juga untuk seluruh anak bangsa. Semoga saja.