Momentum pernikahan adalah upacara sakral yang patut dirayakan dengan upaya terbaik dari mempelai pengantin maupun keluarga. Seringkali konsep pernikahan akhirnya mengerucut menjadi pilihan modern atau tradisional. Masyarakat daerah cenderung menyukai konsep tradisional dengan segala macam prosesi yang lekat dengan kebudayaan. Di Yogyakarta, dikenal riasan pengantin yang disebut paes.
Ada banyak orang salah kaprah memaknai paes sebagai satu kesatuan dengan rangkaian upacara adat menjelang pernikahan Jawa. Padahal, paes terpisah dari upacara adat pernikahan. Apabila satu upacara adat dilewati seperti siraman atau penggunaan sesaji (pelengkap upacara adat), tidak mengubah budaya paes itu. Eni, dosen tata rias, menjelaskan tentang lingkup paes hanya terkait pada riasan dari dahi hingga ujung kaki. Hal ini meliputi riasan wajah, sanggul hingga berkain pada pengantin.
“Semakin modern kan orang maunya serba praktis, tergantung konsumen mau menggunakan upacara adat atau tidak, tetap tidak mempengaruhi paes. Di pedesaan biasanya masih ada kembar mayang, hiasan dari janur. Nantinya ketika manten keluar hiasan ini dipegang oleh ibu-ibu yang menopause lalu dibuang di perempatan. Tapi tidak pun tidak masalah.” Eni pun menegaskan pada praktiknya, tidak ada masalah apabila cara merias paes tidak urut.
Paes Yogyakarta tumbuh dan berkembang tak lekang oleh zaman hingga saat ini. Para perias dan organisasi HARPI Melati sebagai penjaga garda terdepan budaya ini tetap ada. Meskipun MUA banyak tampil dengan memperluas pasar melalui media sosial, perias paes berpengalaman tetap eksis dengan karya mereka. Salah satunya Kinting Handoko, perias veteran yang juga menjabat ketua DPD HARPI Melati Bantul, menceritakan tentang lika-likunya menjalani peran tersebut.
Dra. Kinting Handoko, M.Sn menghabiskan tiga puluh dua tahun usianya sebagai perias dan pelaksana budaya. Alumnus mahasiswa Seni Tari ISI ini memiliki ketertarikan besar pada dunia rias, memilih menjadikan hobi sebagai jalur karirnya. Tidak hanya sebagai perias, Kinting juga seorang akademisi yang mengajar di sebuah kampus.
Pengalamannya sebagai perias tak terhitung jumlahnya, membuatnya sosok yang tangguh menghadapi rintangan. “Klien banyak banget, tidak semua gampang. Ada dari pejabat seperti mantan menteri, wakil rektor dan asisten jenderal yang kedudukannya tinggi. Tapi sebuah kepercayaan bagi saya, apa yang saya miliki harus disampaikan pada mereka bahwa saya mampu melakukannya. Sehingga alhamdulillah saya bisa mengatasi segala kesulitan,” kisah Kinting.
Lanjutnya, kendala sebagai perias harus menyeimbangkan sisi ekonomi dan sisi sosial. Kinting berusaha membantu masyarakat dengan ekonomi menengah ke bawah dalam menunjukkan sisi sosialnya. “Dia punya berapa, ayo kita bantu. Jangan tanya harganya. Saya pernah merias untuk akad nikah, hanya diberi Rp20.000. Itu kan berarti dia memang mampunya segitu.”
Ironisnya, banyak juga masyarakat yang memiliki keinginan besar namun tidak diimbangi kemampuan finansial. Ada klien tidak melunasi, Kinting memilih menunggu kesadaran dari pihaknya. Namun akhirnya tidak terbayar. Meskipun begitu, baginya semua pengalaman adalah bagian dari suka dukanya sebagai perias. Kinting menetapkan pembayaran uang muka, karena baginya tidak bisa lagi hanya sekedar mengandalkan kepercayan.
Sederet pengalaman di dunia rias pengantin utamanya paes, membuat nama Kinting Handoko tersohor. Namun dirinya mengaku tidak memasang tarif mahal seperti yang digembor-gemborkan diluar. “Datang saja, jangan percaya dengan omongan orang lain dan buktikan sendiri. Kita bisa diskusikan masalah harga. Mahal itu tergantung, kalau 25-30 juta komplit dengan dekor, among tamu, manten, sesaji, dan upacara siraman atau akad nikah ya tidak mahal,” ucap Kinting menanggapi rumor tarif jasanya.
Sebagai seorang perias khususnya paes, dibutuhkan keprihatinan dengan pengendalian diri melalui puasa. Tidak hanya bagi perias, namun pengantin juga dianjurkan untuk puasa supaya nantinya ketika dirias auranya lebih memancar. Zaman dahulu, puasa dilakukan calon pengantin dan perias selama 40 hari. Puasa juga bermanfaat untuk mengurangi keringat dan minyak di wajah, pun mengurangi berat badan yang membuat penampilan di hari menikah semakin maksimal.
Paes dimulai ketika pembuatan pola paes di malam mindodareni. Kinting mengurai makna di balik tradisi ini, “Dengan kesederhanaan supaya bidadari turun sehingga besok paginya dirias dan menjadi lebih cantik lagi. Bidadari akan turun jam dua belas malam.” Riasan paes memang kaya makna dan filosofis. Pada saat dikerik misalnya, apabila masih perjaka atau gadis juga akan keluar aura kecantikan atau ketampanannya.
Setelah proses pembuatan pola atau kerangka, pagi harinya baru disempurnakan. Ada satu panunggul, dua pengapit, dua penitis, godek serta citak. Semua harus berpusat pada hidung. Panunggul bentuknya seperti daun sirih, maknanya melambangkan satu titik pusat pada Tuhan. Sumber lain mengatakan maknanya, perempuan harus ditinggikan atau dihormati. Penitis juga berbentuk daun sirih berarti titisan dewi, sehingga muncul kecantikannya. Pengapit seperti bunga kantil bermakna sebagai penyeimbang dari panunggul. Godek yang menyerupai mangot juga sebagai penyeimbang. Citak bisa digunakan sebagai tolak bala.
Menurut Eni, aura pengantin juga bisa terpancar dari periasnya. Jika perias sudah menikah, biasanya pengantin akan terlihat lebih ‘pangling’ atau berbeda. Pengamatannya juga menghasilkan opini perias pria cenderung kurang mengenali morfologi wajah sehingga banyak riasan hasilnya sama di orang yang berbeda.
Paes menjadi bagian dari karya seni, budaya tapi juga sejarah. Sebagai karya seni, riasan tiap pengantin akan berbeda dan menjadi seni yang dicapai dalam sekali pengerjaan. Paes juga merupakan budaya, dari mulai tiap guratannya yang mengandung makna dan filosofis. Hingga prosesi sebelumnya yang dilakukan perias bersama dengan pengantin seperti berpuasa dalam jumlah waktu tertentu. Selain itu, paes adalah sejarah. Meskipun keraton tidak lagi andil dalam penentuan pakem karena perihal tersebut diatur oleh HARPI Melati. Namun paes tetap bagian dari keraton, pasca Perjanjian Giyanti. (Sosa)