Tidak banyak orang mau berhadapan dengan sampah. Mengelola sampah sebagai pekerjaan bisa dikatakan langka. Tapi bagaimana sampah itu bisa menghidupi manusia?

Pada tahun 2019, menurut Dinas Lingkungan Hidup (DLH) masyarakat Yogyakarta bisa menghasilkan sampah 644 ton per hari. Jika dianalogikan pada skala lebih kecil, tiap rumah tangga menyumbang tujuh ons tiap harinya. Bagi sebagian orang, sampah tidak sekedar baunya yang tidak sedap dan merusak estetika. Namun jika sedikit cerdik, angka produksi sampah yang gemuk itu, bisa dijadikan peluang meraih pundi-pundi rupiah.

Hal ini dimanfaatkan pengepul sampah yang akrab dipanggil Yono. Yono tak mau menyebutkan nama lengkapnya. Yono saja, katanya. Pria lulusan sekolah dasar ini tak terlalu tinggi, sekitar seratus enam puluh senti. Tato di lengannya terlihat dibalik kaus lengan pendek hitam. Yono bisa dibilang veteran di dunia sampah.  Lima belas tahun pengalamannya menjadi bukti jika sampah sayang jika ditinggalkan.

“Anakku gemuk-gemuk, Mbak. Ditanya orang dikasih makan apa. Aku jawab dikasih makan kertas, besi, botol,” selorohnya sambil tertawa. Dia mengisahkan perjalanan panjangnya menjadi pengepul sampah yang tak banyak disangka memiliki keuntungan fantastis.

Hidup sebagai perantau, mengelilingi kota-kota luar pulau Jawa membuatnya rindu dengan Jogja. Namun ijazah SD-nya tidak bisa berbuat banyak. Yono gigih mengumpulkan sampah sebagai pemulung. Subuh hingga malam, seratus ribu bisa diraihnya. “Tapi Mbak, sekarang nggak bisa orang dapat segitu. Harganya turun, tapi yang mencari banyak. Dulu besi sekilo enam ribu, sekarang hanya tiga ribu. Botol dan kardus juga begitu.” Sembari menyetor pada pengepul, Yono belajar tata cara memilah sampah. Selisih harga dipilah dan tidak bisa mencapai tiga kali lipat.

Kian pandai pemilahan sampah, Yono memilih lepas dari pemulung harian dan bekerja dengan pengepul. Setelah lima tahun, dia bisa menjadi seorang pengepul dengan dua gudang dan delapan karyawan. Dalam sehari, kadangkala ada dua truk sampah datang ke gudangnya. Pun beberapa pengumpul sampah kecil-kecilan datang menyetor.

Lepas dari gaji karyawan dan operasional seperti kendaraan, Yono meraup untung sekitar tiga ratus ribu per hari. Penghasilannya tidak stagnan, kadangkala dirinya bisa mendapat rejeki berlebih. “Prinsipnya kan begini, Mbak. Sekarang nggak dapat ya besok dapat. Waktu ada pembangunan rusunawa, sebulan aku ambil sampah-sampah disana, dapat itu motor,” kisahnya sambil menunjuk motor yang terparkir depan gudangnya.

Gudang tempat Yono menaruh sampah ini terasa luas, meskipun tumpukan karung ada disana-sini. Beberapa orang lalu lalang, ada yang mengangkat karung dan menimbang dari penyetor. Udara terasa pengap dan membuat hidung gatal ingin bersin. Yono melenggang tenang dengan ringan menjelaskan macam-macam klasifikasi sampah. “Ini kertas nanti dikirim ke Maguwo, besi ke Berbah nanti dikirim ke Jakarta dan Surabaya. Kalau ini plastik pusatnya dikirim ke Bantul.” Karung-karung itu beberapa sudah siap diatas truk besar hasil kerja keras Yono.

Ironisnya, tidak semua pengumpul sampah bernasib seperti Yono. Pemulung-pemulung harian masih banyak yang dibawah kesejahteraan. Darul misalnya, sehari hanya mampu mendapat tiga puluh ribu dari hasil keringatnya. “Sekilo ini dua ribu, kalau sehari paling ya tiga puluh. Kalau mau dipilah, barangnya harus dikumpul dulu, padahal kan butuh makan sehari-hari.” Darul duduk di samping gerobak sampahnya. Siang itu begitu terik, tapi pekerjaan masih menunggu untuk diselesaikan.

Darul mengeluhkan kesedihan lainnya. “Pemulung sering dicap jelek. Padahal kalau dari sepuluh ada satu yang mencuri, tetap saja kena semua.” Selain bau tidak sedap, stigma buruk seperti mengambil barang milik orang lain tanpa izin juga kerap diterimanya. Namun tetap saja, kesedihan tingkat tinggi adalah kesejahteraannya yang masih tingkat rendah. Meskipun dirinya lebih mengasihani istrinya yang harus memutarkan tiga puluh ribu itu.

Lika-liku menjadi manusia beradab dengan pekerjaan yang halal di tengah kompetisi dunia yang sengit. Sampah menjadi alternatif komoditas untuk menyambung nafas. Jika menguntungkan, maka pertahankan seperti halnya Yono. Namun, jika tidak ada pilihan lain, maka bertahan dan berjuang layaknya Darul. Manusia memang penghasil sampah terbesar, namun ada manusia-manusia yang hidup dari sampah. (Sosa)

*ilustrasi gambar diambil dari google.com

Written by:

Leave a Comment

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *