Penulis terkenal Indonesia, Tere Liye, pada 2020 lalu menerbitkan buku berjudul Selamat Tinggal. Novel ini sangat menyoroti perihal pembajakan. Segala bentuk pembajakan ter-notice dalam novel ini, mulai dari pembajakan buku, film, lagu, barang fashion, bahkan obat. Selamat Tinggal menunjukkan betapa mirisnya negeri ini yang minim kesadaran mengenai hak intelektual.
Novel garapan penulis kenamaan Indonesia ini menceritakan tentang Sintong Tinggal yang merupakan mahasiswa tahun ke-tujuh dengan julukan ‘mahasiswa abadi’ di sebuah kampus ternama. Dulunya, Sintong termasuk mahasiswa yang aktif dan terampil. Namun, situasi berubah setelah tahun ketiganya, prestasinya terus menurun bahkan ia tak segera merampungkan skripsinya hingga tahun ke-tujuh. Dekannya sampai memberikan tambahan waktu agar Sintong dapat menyelesaikan kuliahnya yang hampir terkena drop out itu.
Selama kuliah, Sintong bekerja sambilan menjadi penjaga toko buku bajakan bernama “Berkah” milik pamannya. Disaat dia mulai memiliki semangat menyelesaikan skripsinya, Sintong menemukan sebuah buku karya Sutan Pane yang telah menghilang keberadaannya. Buku itu menjadi titik terang Sintong untuk membahas Sutan Pane beserta mahakaryanya dalam skripsinya. Dan dimulailah kisah pencarian Sintong mengenai Sutan Pane.
Sinopsis tadi masih belum menggambarkan cerita dalam novel ini. Selamat Tinggal merupakan karya yang luar biasa hingga rasanya sayang untuk memberikan banyak spoiler. Cerita dalam novel ini sangatlah padat dan menarik. Tidak hanya kisah Sintong dengan skripsi Sutan Pane-nya saja, tetapi yang paling menancap dalam ingatan adalah sindiran mengenai pembajakan.
Penulis dengan nama asli Darwis ini banyak sekali mencurahkan keresahannya mengenai pembajakan dalam novel bertajuk Selamat Tinggal tersebut. Tentu hal ini bisa jadi kurang disukai beberapa pembaca karena terkesan sangat keras dan selalu di-mention hingga rasanya sangat berlebihan. Dimulai dari sang tokoh utama yang bekerja sampingan di toko buku bajakan bahkan hingga ia membantu membuatkan toko onlinenya di marketplace. Lalu ada pula cinta pertama Sintong yang terlibat pemalsuan obat-obatan dan pendistribusian secara masif obat palsu itu hingga didakwa. Juga hal-hal yang saat ini terkesan normal seperti ibu-ibu yang suka pamer memakai barang branded padahal itu hanya tiruan alias kw. Hal-hal itu membuat pembaca tertohok, ntetapi mungkin sebagian lainnya akan kurang menyukainya karena novel itu jadi terkesan berisi tentang curhatan sang penulis saja.
Di samping itu semua, kita harusnya concern dengan perihal pembajakan ini. karena pemilik karya benar-benar dirugikan oleh pemajakan, bahkan pembeli/penikmat barang bajakan itu sendiri juga dirugikan karena mendapat barang yang kualitasnya rendah yang tidak sesuai dengan ketentuan distribusi. Bisa dibilang novel ini terlalu real untuk karya fiksi karena kisahnya yang benar-benar relate dengan kehidupan saat ini.
Terdapat kutipan menarik dalam sinopsis di bagian belakang novel ini, “Kita tidak sempurna. Kita mungkin punya keburukan, melakukan kesalahan, bahkan berbuat jahat, menyakiti orang lain. Tapi beruntunglah yang mau berubah.” Jadi, ayo kita ubah hal-hal buruk dalam diri kita untuk memperbaiki diri dan menebus kesalahan yang pernah kita lakukan sebelumnya. (Rona)