“ Apakah melahirkan termasuk judi, karena taruhannya nyawa?” Itulah salah satu pertanyaan template bernada guyon yang dilontarkan netizen pada kolom komentar sosial media milik beberapa public figure dan tokoh agama. Di sosial media belakangan ini sedang ramai membicarakan judi, termasuk tentang promosi judi yang berbasis online.
Benar kata bang Rhoma Irama, kalau judi itu hanya menjanjikan kemenangan, kalau judi itu menjanjikan kekayaan.Akan tetapi, bang Rhoma belum sempat menyebutkan di lagunya kala itu, kalau mempromosiin judi juga merupakan hal salah di negeri ini.Judi sendiri merupakan permainan yang menggunakan uang atau barang sebagai bahan taruhan.
Di Indonesia, judi bukanlah hal yang baru. Judi sudah ada sejak lama, bentuk dan jenisnya juga beragam, mulai dari tebak skor dalam olahraga, permainan kartu, adu hewan hingga terpilihnya kepala daerah juga kerap dijadikan bahan judi.
Selain prostitusi, judi merupakan penyakit masyarakat yang susah dihancurkan. Judi sepertinya menjadi hiburan tersendiri bagi para penikmatnya. Judi tentu tidak memandang kelas dan status sosial, dan tak jarang bagi sebagian orang judi dijadikan pelarian dari sebuah masalah serta ingin meningkatkan perekonomian secara instan.
Perkembangan Judi di Indonesia sudah ada sejak zaman colonial Belanda, dan siapa sangka kalau judi pernah legal di Indonesia. Kala itu, pemerintah Indonesia melegalkan judi sebagai bentuk kepentingan sosial dan pengembangan di bidang olahraga.
Sebelum Undang-Undang No.7 tahun 1974 tentang Penertiban Perjudian dibuat, judi di Indonesia merupakan suatu yang legal. Dilansir dari laman historia.id, bahwa Pemerintah Indonesia kala itu menjadi fasilitator jenis perjudian yang disebut “undian berhadiah”. Pada tahun 1960-an undian berhadiah tersebut dikeluarkan oleh yayasan bentukan pemerintah, yakni Yayaasan Rehabilitasi Sosial.
Buntut dari undian ini, banyak muncul judi-judi ilegal lainnya dikalangan masyarakat masa itu, diantaranya yakni lotere. Kala itu lotere dimainkan dengan cara menebak dua angka terakhir dari undian berhadiah yang dikeluarkan Yayasan Rehabilitasi Sosial.
Bagi Sebagian orang, kegiatan judi ini sangat menggiurkan karena iming-iming mendapatkan keuntungan yang fantastis. Saya pun berpikiran demikian, sewaktu sekolah kerap kali menguji peruntungan dengan membeli kupon untuk bermain lotere yang dijajakan pedagang. “Tarik benangnya, kalau untung bisa dapat jam tangan,” Teringat jelas kalimat itu dari pedagang lotere.
Selain lotere benang, kala itu populer juga judi yang dikemas dalam kegiatan olahraga serta judi yang melibatkan hewan sebagai objek taruhan. Hal ini kerap dianggap lumrah bagi para penikmat judi. Namun demikian, tentu saja judi dapat menggeser nilai yang ada di masyarakat dan merusak moral bangsa.
Teknologi informasi yang sangat berkembang saat ini tentu membawa perubahan dan memberi pengaruh terhadap kehidupan sosial. Di era perkembangan teknologi informasi dan komunikasi, berjudi bisa dilakukan secara digital. Saat ini banyak bermunculan laman-laman di internet yang menyediakan berbagai bentuk permainan judi dan tidak jarang di promosiin oleh public figure yang memiliki pengikut banyak. Tidak sedikit pula penjudi yang beralih ke judi online dengan dalih mudah diakses kapan dan dimanapun, dan tentu merasa penegak hukum tidak sigap menangani judi online.
Disini duduk perkaranya, benar adanya, meski sudah banyak regulasi yang mengatur tentang perjudian di negeri ini seperti yang disebutkan dalam Pasal 27 ayat (2) UU ITE atau Pasal 45 ayat (2) UU 19/2016 yang berbunyi : Setiap orang yang dengan sengaja dan tanpa hak mendistribusikan dan/atau mentransmisikan dan/atau membuat dapat diaksesnya Informasi Elektronik dan/atau Dokumen Elektronik yang memilliki muatan perjudian sebagaimana dimaksud dalam Pasal 27 ayat (2) dipidana dengan pidana penjara paling lama 6 (enam) tahun dan/atau denda paling banyak Rp 1 miliar.
Namun acap kali penegakan hukum terhadap judi yang dilakukan secara online terkesan ada pembeda dengan judi secara offline. Penegak hukum dinilai kurang peka atau bahkan pura-pura tidak peka terhadap fenomena ini. Saya ambil contoh pada salah satu akun Instagram pribadi public figure yaitu @dinar_candy, yang beberapa kali mempromosiin laman judi online bernama ASIABIGBET. Di kolom komentar Dinar Candy banyak netizen yang sudah melaporkan ke penegak hukum terkait, akan tetapi tidak pernah direspon.
Berbanding terbalik jika ada sekelompok orang sedang bermain kartu di pos ronda dengan banyak tumpukan uang receh didekat mereka, tentu saja penegak hukum sigap langsung menuju TKP.
Jadi, adakah standar ganda dalam penegakan hukum judi yang dilakukan secara online dan offline? (Zaldi)