Menurut Kamus Besar Bahasa Indonesia, arti dari kata ‘selera’ mempunyai enam arti. ‘Selera’ diartikan sebagai nafsu makan, nafsu, keinginan, kesukaan, dan kegemaran. Salah satunya, arti dari ‘selera’ adalah kegemaran. Contoh: Akhirnya semua itu tergantung pada selera masing-masing.
“Selera musik lo bagus!”
“Selera outfit-nya jelek!”
“Hobinya aneh!”
Pernahkah Smart Listeners mendengar kalimat-kalimat bernada seperti itu? Jika belum, silahkan jelajah lebih jauh linimasa media sosial Anda atau bisa memperluas jaringan pertongkrongan Anda. Atau mungkin cukup diam saja akan lebih baik.
Dalam perjalanan kehidupan, seseorang akan menemukan banyak hal baru. Dalam perjalanan kehidupan juga, seseorang akan berjalan di berbagai lingkungan yang berbeda. Dari apa yang sudah dilalui, maka muncullah ketertarikan terhadap suatu hal yang ia rasa selaras dan ia senangi atau bisa disebut dengan ‘selera’. Dari logika tersebut, seseorang pastinya memiliki perjalanan dan lingkungan kehidupan yang berbeda dengan yang lainnya. Maka dari itu, munculah perbedaan selera. Masalahnya, banyak orang yang seketika menjadi hakim selera. Mereka bertugas menilai pandangan seseorang biasanya terhadap selera dalam bermusik, berpakaian, hingga berkegiatan yang dihitamputihkan menjadi selera ‘bagus’ atau ‘jelek’. Penilaian tersebut berdasarkan kurikulum antah berantah, alias penilaian yang tidak pernah absah. Padahal, selera sejatinya adalah kesubjektifitasan.
Apakah Anda tetap memakan makanan yang pedas jika Anda tidak menyukainya? Apakah Anda tetap memakan durian jika anda tidak menyukainya? Apakah anda tetap meminum soda jika Anda tidak menyukainya? Saya rasa tidak. Jikapun terpaksa menyantapnya, pasti akan menimbulkan ketidaknyamanan. Ya, akhirnya semua itu tergantung pada selera masing-masing.
Jadi, menurut Smart Listeners, apakah ada selera ‘bagus’ atau ‘jelek’? -Dije