Dunia perfilman di Indonesia tidak henti-hentinya menghadirkan karya anak bangsa yang luar biasa. Tak sedikit film yang mendapat rating jempolan karena kualitas dan alurnya yang ciamik sehingga membuat para penikmat film bolak-balik ke bioskop di tahun ini. Salah satunya yaitu Bayu Skak yang diketahui telah menyutradarai film-film komedi terkenal seperti seri “Yowis Ben” dan juga “Lara Ati” yang sempat booming. Film-film karya Bayu Skak memiliki ciri khas penggunaan bahasa Jawa Timur yang kental dan juga relate dengan kehidupan sehari-hari. Keunikan ini tentu menjadi daya tarik tersendiri bagi para penontonnya, apa lagi karyanya selalu sarat akan makna kehidupan.
Setelah dua tahun, Bayu Skak kembali merilis karyanya yang kini tengah tayang di bioskop seluruh Indonesia. Namun, kali ini ia mencampurkan genre komedi dengan horor sehingga jangkauannya lebih luas. Film dengan judul “Sekawan Limo” yang rilis pada 4 Juli 2024 mendapat respon positif dari publik. Belum seminggu tayang, film ini sudah menggaet lebih dari 800.000 penonton. Smart Listeners penasaran nggak sih bagaimana isi film ini sampai bisa meraup banyak penonton? Yuk, simak ulasannya!
Film “Sekawan Limo” menceritakan tentang Bagas (Bayu Skak) yang hadir dalam podcast “Medeni Pol” yang dipandu oleh Deri (Dono Pradana) dan Dyny (Keisya Levronka). Dalam podcast tersebut, Bagas menceritakan pengalamannya ketika mendaki Gunung Madyopuro bersama empat pendaki lain yaitu Lenni (Nadya Arina), Juna (Benidictus Siregar), Dicky (Firza Valaza), dan Andrew (Indra Pramujito) yang dipenuhi kisah mistis. Awalnya, Bagas dan Lenni akan mendaki gunung berdua, tetapi mereka dianjurkan oleh penjaga pos pendakian untuk berbarengan dengan Dicky yang akan naik sendirian. Sebelumnya, penjaga pos juga menghimbau bahwa jangan naik dengan jumlah yang ganjil karena mungkin akan ‘diikuti’ oleh makhluk halus.
Ketika melewati gapura menuju gunung, mereka bertiga dikejutkan dengan kehadiran Juna yang ingin ikut naik dengan alasan ditinggal teman-temannya. Di sisi lain, karena adanya distraksi dari Dicky, mereka tidak melewati jalur pendakian utama dan malah melewati jalur lain yang belum dibuka. Mereka pun akhirnya tersesat hingga bertemu dengan Andrew yang pingsan di balik batu besar. Setelahnya, para pendaki itu mendirikan tenda dan bermalam di sana. Keanehan di mulai pada malam itu, dimulai dari mimpi buruk Lenni dan Andrew hingga Dicky yang ternyata memiliki maksud lain untuk mendaki Gunung Madyopuro. Ketika sampai di pos 2, mereka malah dikejutkan dengan fakta bahwa tidak boleh naik hingga malam karena besok adalah tanggal 1 Suro yang mana banyak mitos tidak mengenakkan tentang tanggal tersebut hingga menimbulkan konflik yang berarti di antara mereka berlima. Akankah mereka bisa turun dengan selamat sebelum tanggal 1 Suro? Dan mungkinkah di antara mereka ada yang bukan manusia?
Karakter di film ini memiliki ciri khasnya masing-masing yang kemudian mewujudkan dinamika yang menarik dan penuh humor. Penggunaan bahasa Jawa Timur yang merupakan ciri khas dari karya Bayu Skak juga ditampilkan sepanjang film ini. Salah satu keunggulan “Sekawan Limo” adalah premis dan alur ceritanya. Film ini mengangkat tema pendakian dengan segala detail yang diperhatikan dengan baik, seperti aturan keamanan dan kebiasaan para pendaki gunung. Sayangnya, beberapa adegan flashback para karakter terasa dipaksakan dan kurang mulus eksekusinya.
Film “Sekawan Limo” dapat menghibur penonton dengan visual menawan dan efek kreatif yang menghidupkan setiap adegan. Pemandangan dan lokasi syuting yang indah menambah kesan estetika yang menyenangkan, seakan mengajak penonton ikut merasakan suasana di setiap latar. Di balik perilaku lucu kelima karakter utama, cerita ini juga menyelipkan pesan moral untuk terus memandang ke depan dan jangan terjebak di masa lalu yang menyedihkan. Hidup harus terus berjalan dan setiap permasalahan yang ada harus dihadapi, bukannya lari dari masalah itu. Pesan ini terus diulang-ulang pada kalimat “Jangan menoleh ke belakang” yang diucapkan oleh Bagas, ternyata kalimat ini memiliki makna mendalam. Artinya, kita tidak boleh terus-terusan meratapi masa lalu yang kelam dan harus segera move on untuk terus menjalani hidup.
Penulis: As Syifa Dzihni Nafisa
Editor: Meirinda Dyah Anugrah
1 Comment