Rentetan gelombang aksi protes yang dimulai sejak Agustus 2025 terus bergulir di berbagai wilayah Indonesia. Di Yogyakarta, demonstrasi berlangsung intens sejak 28 Agustus dan kembali memuncak pada 1 September 2025, dengan dua titik aksi yang digelar secara serentak. Salah satu titik utama berada di Bundaran Universitas Gadjah Mada, di bawah komando aliansi “Jogja Memanggil.”
Aksi damai ini tak hanya ekspresi kemarahan, melainkan seruan kolektif atas arogansi dan brutalitas aparat terhadap rakyat. Titik tolaknya adalah tragedi memilukan seorang pengemudi ojek daring tewas terlindas kendaraan taktis Brimob. Peristiwa ini menjadi simbol luka bangsa yang lebih luas yakni luka yang dirasakan bukan hanya oleh keluarga korban, tetapi oleh publik yang menyaksikan negara gagal menjalankan fungsi perlindungannya.

Kemurkaan publik tak datang dari satu insiden saja. Ada kekecewaan mendalam terhadap janji reformasi kepolisian yang tak kunjung terwujud sejak dua dekade lalu. Kekecewaan ini diperparah oleh kebijakan pemerintah yang membuka kembali ruang bagi militer untuk masuk ke ranah sipil. Revisi Undang-Undang TNI menjadi sorotan utama, karena memperluas definisi “ancaman” dan memberi legitimasi bagi keterlibatan militer dalam urusan sipil. Bagi banyak pihak, ini membangkitkan memori kelam Dwifungsi ABRI yang pernah membelenggu demokrasi Indonesia.
Di tengah sorotan terhadap aparat dan militer, tuntutan lain yang mengemuka adalah pengesahan RUU Perampasan Aset. Selama ini, hukum Indonesia hanya memungkinkan perampasan aset setelah ada putusan pidana. Akibatnya, pelaku korupsi yang melarikan diri atau meninggal dunia tetap bisa mempertahankan asetnya melalui keluarga atau pihak ketiga. RUU ini diharapkan menjadi instrumen hukum yang lebih gesit, adil, dan efektif dalam memulihkan kerugian negara.
Tuntutan Rakyat
Aliansi “Jogja Memanggil” menyuarakan 18 tuntutan utama sebagai bentuk perlawanan terhadap ketidakadilan struktural dan kebijakan yang dianggap merugikan rakyat:
- Gagalkan pemangkasan anggaran pendidikan dan wujudkan pendidikan gratis, ilmiah, demokratis, serta bervisi kerakyatan
- Usut tuntas segala brutalitas aparat yang merenggut nyawa rakyat, terutama dalam demonstrasi
- Bebaskan semua demonstran, pejuang lingkungan, pejuang HAM, dan pejuang demokrasi
- Pecat dan adili Kapolri Listyo Sigit Prabowo
- Laksanakan reformasi Polri secara menyeluruh
- Kembalikan militer ke barak, hapus komando teritorial, dan cabut UU TNI
- Turunkan kenaikan Pajak Bumi dan Bangunan, dan pajaki setinggi-tingginya orang kaya
- Hapus program makanan bergizi gratis yang dianggap korup dan pencitraan
- Hapus segala tunjangan di luar gaji pokok dan jaminan sosial-kesehatan bagi pejabat dan perwira TNI-Polri
- Setarakan gaji pokok pejabat dan perwira TNI-Polri dengan rata-rata upah buruh nasional
- Naikkan upah buruh, turunkan harga kebutuhan pokok
- Gratiskan biaya kesehatan bagi seluruh rakyat
- Gagalkan segala proyek strategis nasional
- Lawan segala mafia tanah
- Sahkan RUU Perampasan Aset Koruptor untuk memiskinkan koruptor dan keluarganya
- Gagalkan penulisan sejarah nasional yang manipulatif
- Gagalkan upaya menaikkan status kepahlawanan Soeharto
- Tangkap, adili, dan penjarakan pejabat serta aparat pelanggar HAM

Gelombang aksi yang terus bergulir ini bukan sekadar respons atas satu tragedi, melainkan akumulasi dari kekecewaan panjang terhadap sistem yang gagal melindungi, mendidik, dan menyejahterakan rakyatnya. Dari jalanan Yogyakarta, suara-suara perlawanan kembali menggema, membawa harapan akan perubahan yang lebih adil dan demokratis.
Penulis: Amandita
Editor: Galih Abrurynandi
3 Comments