Film “Bila Esok Ibu Tiada” yang diproduksi oleh Leo Pictures dan diadaptasi dari novel karya Nagiga Nur Ayati membuktikan kesuksesannya dengan meraih satu juta penonton hanya dalam waktu 3,5 hari penayangan. Dengan durasi 1 jam 44 menit, film arahan Rudy Soedjarwo ini tidak hanya berhasil menghadirkan narasi yang mendalam tentang kehilangan dan kerinduan, tetapi juga menekankan pentingnya sosok ibu dalam sebuah keluarga.

Kisah yang ditulis oleh Oka Aurora ini bermula dari kepergian Haryo (Slamet Rahardjo), sosok ayah yang menjadi pilar penyatu keluarga. Kematiannya meninggalkan lubang besar dalam hidup sang istri, Rahmi (Christine Hakim), yang tenggelam dalam kesedihan berkepanjangan. Empat anak mereka – Ranika (Adinia Wirasti) seorang pengusaha sukses, Rangga (Fedi Nuril) musisi yang masih mencari jati diri, Rania (Amanda Manopo) aktris televisi, dan si bungsu Hening (Yasmin Napper) dengan jiwa seninya kini semakin jarang berkumpul.

Rudy Soedjarwo dengan cerdas menggunakan teknik single take dalam adegan ulang tahun Rahmi, didukung sinematografi Ade Putra Adityo yang memukau. Teknik ini berhasil menangkap dinamika kompleks antar karakter dalam ruang terbatas, menciptakan atmosfer mencekam yang semakin intens seiring berjalannya cerita. Penggunaan teknik ini juga mampu menggambarkan ketegangan emosional yang terbangun di antara para karakter dengan sangat natural.

Para pemain menunjukkan performa memukau dalam menghidupkan karakter mereka. Adinia Wirasti tampil dominan namun rapuh sebagai anak sulung yang menanggung beban tanggung jawab keluarga. Fedi Nuril berhasil keluar dari zona nyaman dengan memerankan musisi yang berjuang dengan idealisme dan ketidakpercayaan dirinya. Amanda Manopo piawai mengekspresikan emosi sebagai artis yang tenggelam dalam dunianya sendiri, sementara Yasmin Napper menawan dalam perannya sebagai si bungsu yang bijak namun tersisih.

Film ini dengan cermat menggambarkan dinamika keluarga modern Indonesia, di mana kesibukan dan ambisi pribadi seringkali mengalahkan nilai-nilai kebersamaan. Melalui berbagai adegan yang intim dan dialog yang mendalam, penonton diajak untuk merenungkan kembali makna keluarga dan pentingnya meluangkan waktu untuk orang-orang tersayang sebelum terlambat.

Meski terdapat beberapa kendala dalam transisi cerita dan penyuntingan, film ini membawa kedalaman tema yang jarang ditemui dalam film keluarga Indonesia lainnya. Puncaknya terlihat dalam adegan close-up yang menampilkan chemistry luar biasa antara Christine Hakim dan Slamet Rahardjo, menghadirkan momen emosional yang sulit dilupakan.

Yang menarik, film ini tidak berakhir dengan kebahagiaan klise. Seperti filosofi kintsugi, seni memperbaiki tembikar Jepang, “Bila Esok Ibu Tiada” mengajak penonton untuk menerima ketidaksempurnaan dan kerapuhan manusia sebagai bagian tak terpisahkan dari kehidupan. Film ini juga menghadirkan pesan kuat tentang penerimaan dan pemaafan, baik terhadap diri sendiri maupun orang lain.

Sebagai sebuah karya sinema, “Bila Esok Ibu Tiada” berhasil membuktikan bahwa drama keluarga Indonesia bisa hadir dengan pendekatan yang lebih matang dan mendalam. Film ini tidak hanya menguras air mata penonton, tetapi juga meninggalkan perenungan mendalam tentang arti keluarga, pengorbanan seorang ibu, dan betapa berharganya waktu yang kita miliki bersama orang-orang tercinta. Smart Listeners wajib banget nonton film ini!

Penulis: Jenny Shintya BRH 

Editor: Maria Yolanda 

20 November 2024

Written by:

Leave a Comment

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *