Agustus menjadi momentum hari kemerdekaan dihidupkan kembali. Euforia menyambut dirgahayu Indonesia tersebar di penjuru daerah. Banyak kampung-kampung dihias dengan ornamen merah putih. Puncaknya pada 17 Agustus, perlombaan dan pentas seni digelar untuk kian memeriahkan hari besar tersebut. Tahukah kamu, bagaimana awal mula perayaan hari kemerdekaan di Indonesia?

Di awal kemerdekaannya, Indonesia masih sulit merayakan hari bahagia ini secara terang-terangan. Pada kurun 1945 hingga 1949, Sekutu masih mencengkram Indonesia, sehingga perayaan dilakukan dengan sembunyi.

Perayaan pertama digelar pada 18 Agustus 1945, ketika seorang pemuda bertopi dengan setelan celana pendek memimpin arak-arakan di Jalan Pegangsaan Timur. Ia membawa bendera merah putih yang dikibarkan, beberapa meter di belakang terbentang kain bertuliskan, “Sekali merdeka, tetap merdeka!”

Setahun Pasca Kemerdekaan

Setahun pasca kemerdekaan, ada perbedaan prosesi merayakan kemerdekaan antara kantong republik dengan luar kantong. Dikutip Pramoedya Ananta Toer dalam Kronik Revolusi Indonesia II, di kantong kemerdekaan, peringatan kemerdekaan dirayakan secara meriah oleh segenap lapisan masyarakat. Rumah dan gedung dihias janur kuning dan rupa-rupa dedaunan.

Di Yogyakarta, Mr. A. G. Pringgodigdo mempersiapkan sederet acara dalam menyambut hari istimewa ini. Selain upacara, pergelaran parade tentara di Alun-Alun Utara  hingga resepsi di Istana Negara. Tidak berhenti sampai di situ, momentum ini sekaligus menjadi peresmian Bank Negara Indonesia, hubungan radio telepon Jawa – Sumatera sampai peresmian jembatan. Kabar baiknya, ada pemberian santunan bagi fakir miskin dan pejuang di front terdepan. Kemeriahan itu belum cukup, masih ada pemutaran film di Gedung Bioskop Indra dan Pameran Kedirgantaraan di Hotel Tugu.

Menurut Rukardi, kondisi ini tidak dialami oleh rakyat di luar kantong republik. Bagi mereka, perayaan ini dilakukan dengan hening dan mencekam. Polisi dan tentara Inggris menghalangi rakyat yang ingin mengikuti perayaan kemerdekaan. Keadaan ini dirasakan warga Semarang. Tak mau ambil risiko, rakyat Semarang mengibarkan bendera merah putih secara sembunyi lantaran takut ancaman tentara Sekutu.

Beranjak ke Bandung, peringatan dilakukan para gerilyawan di medan tempur. Gerilyawan menaikkan bendera untuk daerah yang dikuasai. Tak mau kalah, Sekutu turut menggelar peristiwa penyerahan Jepang di tengah kota.

Perayaan Kemerdekaan Setelah 1949

Kondisi darurat terus berlanjut hingga 1949. Gemerlap perayaan kemerdekaan dengan perayaan kebebasan baru dirasakan setelah penyerahan kedaulatan RI. Semarang yang mulanya mengibarkan bendera dengan ketakutan, pasca mendapat kebebasan menggelar perayaan hingga empat hari.

Sederet agenda dilaksanakan, mulai dari rapat umum, pemutaran film, doa bersama, renungan, peresmian taman makam pahlawan hingga pemakaman kembali 17 jenazah Pertempuran Lima Hari di Semarang. Serba-serbi lomba, pentas seni dan pawai juga tak luput dari agenda yang direncanakan secara matang.

Di Jawa Tengah, perlombaan mewarnai acara kemerdekaan. Ada sepak bola ketentaraan, lomba dayung, estafet, mengarang hingga menggambar untuk siswa-siswi sekolah lanjutan. Tidak jauh seperti hari ini, lomba hias kampung dan kendaraan juga telah dilaksanakan. Di tengah Kali Semarang, ada lomba pukul bantal di atas bambu.

Ragam perayaan hari kemerdekaan telah dilakukan melihat kondisi dan situasi negara pada saat itu. Meskipun pada 1945-1949 perayaan tidak terlalu meriah, namun tidak mengurangi semangat dan kecintaan pada negara kesatuan Republik Indonesia. Begitu juga hari ini, sudah sebaiknya perayaan kemerdekaan diisi dengan kemeriahan yang mampu membangun semangat kekeluargaan, kebersamaan sampai kecintaan pada tanah air. Dirgahayu Republik Indonesia!

Written by:

Leave a Comment

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *