Perempuan Tanah Jahanam (PTJ) katanya genre baru dari horor. Saya setuju. Minim jumpscare dan penampakan hantu wajah rusak, tapi ketakutan mengungkung penonton sepanjang film. Semua pemain seperti kerasukan karakter mereka sendiri, kemudian menyeret saya berada di tengah dunia mereka. PTJ membuat saya lebih takut pada manusia daripada hantu—tapi saya tetap takut hantu, sih.
Joko Anwar sebagai film-maker ternama tidak main-main menggarap film yang alurnya menghantui mimpinya selama sembilan tahun. Meskipun memilih Tara Basro lagi-lagi sebagai pemeran utama filmnya, Joko berhasil membuktikan dia tidak asal pilih artis. Tara sebagai Rahayu atau Maya, tampil menjiwai sebagai orang miskin yang semakin lusuh terlebih ketika menjadi incaran satu desa. Kolaborasi apik dengan sahabatnya, Dini (Marissa Anita) meskipun sayangnya hanya setengah durasi film. Plot PTJ secara umum, diceritakan Maya dan Dini sepasang sahabat yang hidupnya susah, kemudian pergi ke desa terpencil asal keluarga Maya karena disana terdapat warisan rumah besar. Maya yang ternyata memiliki nama kecil Rahayu, tidak menyadari dirinya telah ditunggu untuk dikuliti oleh warga desa tersebut. Kejahatan orang tuanya di masa lalu membuatnya sebagai tumbal yang dipercaya dapat menghilangkan kutukan di desa itu; bayi lahir tanpa kulit. Cukup kompleks dan tidak mainstream.
Film ini memberikan pengalaman sinematik luar biasa. Ketakutan tidak datang dari penampakan tiba-tiba hantu dengan latar belakang diperkosa dan disiksa semasa hidupnya (cerita normal film horor), tapi ketakutan datang justru dari tatapan mengerikan orang-orang. Di film ini terlalu banyak karakter yang mencuri perhatian saya, bahkan sampai karakter tidak bernama seperti tukang delman. Joko Anwar terlalu genius membuat karakternya tidak terlihat sama sekali sedang berlakon dalam film. Tapi tetap saja, hormat tertinggi saya untuk Christine Hakim beserta tariannya ketika bulan purnama. Dengan rambut acak-acakan dan mata tajamnya, saya menyerah untuk tidak merinding. Asmara Abigail yang sederhana sebagai Ratih si penjual sayur, karakter misteriusnya bisa membuat orang terkecoh untuk menebak dia dalam kubu antagonis atau protagonis.
PTJ menyeramkan sedari opening scene. Siapa yang tidak akan takut dengan pandangan gelap Rifnu Wikana si bapak mobil tua? Kemudian scene dalam pasar, permainan kamera membuat saya terjebak di dalamnya. Bahkan saya ketakutan dengan mannequin dan jilbab panjang yang tadinya dikira hantu. Belum lagi setiap scene lari-larian Tara Basro. Tapi scene favorit saya tetap kenyablakan Dini. Tidak terbayang cendekiawan seperti Marissa Anita merokok di toilet umum sambil bilang, “INI TOILET CEWEK, NJING!” Rasanya keinginan misuh saya sudah terwakili oleh Dini.
PTJ sangat kompleks dan membingkai realitas sehari-hari. PTJ mengambil isu sekitar yang jarang dibahas, seperti pelecehan perempuan, kompleksitas keluarga, mitos dan karma, hingga kesetaraan gender. Suguhan berkelas dengan sinematografi sangat apik, settingan yang alami karena katanya Joko sangat detail dalam produksi dan akting menawan aktornya, PTJ kian sempurna dengan menyelipkan amanat cerita yang sarat makna.
Isu lain yang mendasari film ini bermuara pada horor tentu saja mitos dan karma. Masyarakat pedesaan apalagi terpencil dan jauh dari peradaban umumnya masih berpegang teguh dengan mitos. Dalam PTJ mitos bahwasanya kutukan bisa dihilangkan ketika Maya dikuliti dan dibuat menjadi wayang, sebagai satu-satunya solusi prahara yang terjadi. Pun karma, menilik flashback cepat kejadian masa lampau sebelum adanya kutukan tersebut merupakan karma dari perbuatan tak berperi kemanusiaan.
Setelah banyak mengangkat persoalan, PTJ melahirkan Charlie’s Angel sebagai ikon perempuan tangguh. Maya, Dini, dan Ratih menjadi lakon yang kuat dengan karakternya. Maya lari-larian di tengah hutan untuk kabur ke kota. Lihat, Maya dengan tampilan kucelnya namun tetap cantik. Lalu Dini dengan nyablaknya dia, membuat pria sungkan dengan kata-katanya. Terakhir Ratih, duh, dia karakternya kuat banget. Dia berani nekat menghadapi semua laki-laki bejat.
PTJ hampir mendapat skor sempurna, apabila tidak terburu-buru dalam membungkus ending. Flashback kilat bikin mumet. Dan dramatis di babak akhir membuat agak mengganjal. Tapi bagi pecinta horor, jangan khawatir film ini tidak seram meskipun hantunya tidak seperti Ibu di Pengabdi Setan ataupun hantu-hantu Danur series. Paduan musik-musik etnik dan latar cerita yang orisinil, juga permainan kamera yang membawa penonton seolah terseret ke dalam latar tersebut dijamin bikin merinding. Pun tatapan jahat orang-orang di desa jahanam terutama Nyai Misni (Christine Hakim) dan pergelaran wayang dalang ganteng Ario Bayu, siap untuk tidak takut? Ada kalanya hantu manis mengalah dalam menakut-nakuti manusia, gantian dengan manusia jahanam yang biadab minta diazab. Selamat menonton, Perempuan Tanah Jahanam. (Sosa)