Saat mendengar kata “Bali”, apa sih yang langsung tercetus dipikiran Smart Listeners? Mungkin beberapa dari kita akan terbayang indahnya pantai, ramainya kehidupan malam, atau mungkin kekayaan budaya dan tradisi yang kental. Namun, di balik gemerlapnya pulau dewata ini, tersimpan sebuah tradisi yang sangat dalam dan bermakna, yaitu upacara mepamit.
Baru-baru ini, Mahalini, penyanyi terkenal, dan Rizky Febian telah membuat gebrakan dengan memilih untuk menggelar pernikahan mereka dalam upacara adat Bali. Sebelum acara puncak pernikahan, Mahalini akan melakukan upacara mepamit, sebuah tradisi yang sangat penting dalam budaya Bali.
Apa itu mepamit? Mepamit, yang berarti “berpamitan” atau “perpisahan”, memiliki makna yang sangat dalam pada konteks pernikahan adat Bali. Secara harfiah, mepamit berasal dari kata “pamit” yang berarti perpisahan. Dalam konteks istilah, upacara ini diadakan sebagai bentuk permohonan izin. Dalam tradisi adat Bali, umumnya dipahami bahwa anggota keluarga yang ingin keluar dari adat dan agama harus meminta izin terlebih dahulu kepada leluhur. Hal ini dilakukan melalui pelaksanaan “upacara suci” yang dipimpin oleh seorang pemuka agama atau “Mangku”.
Dalam agama Hindu, setiap individu diyakini terikat dengan dua permasalahan yaitu skala (fisik atau non-spiritual) dan niskala (gaib atau rohani). Pada konteks mepamit, niskala merujuk pada proses keluarnya seseorang dari Hindu secara rohani. Mepamit adalah suatu proses budaya di mana seseorang secara sadar melakukan pamitan atau meminta izin dengan sopan untuk keluar dari tatanan tradisi Hindu Bali.
Salah satu tujuan utama dari upacara mepamit yaitu sebagai bentuk pamitan pengantin wanita kepada leluhurnya karena mereka akan menikah dan bergabung dengan keluarga pengantin pria. Upacara ini juga menunjukkan apa yang harus dilakukan keluarga dan calon pengantin pria di masa depan. Pada pernikahan antar-agama, mepamit memungkinkan calon pengantin untuk meminta izin dan meminta maaf kepada leluhurnya sebelum meninggalkan agamanya untuk menikah dengan orang yang beragama lain.
Dengan upacara ini, seseorang melepaskan diri dari sumber budayanya dan tidak lagi diharuskan mengikuti tradisi lama. Sebaliknya, mereka diizinkan untuk memasuki tatanan kehidupan baru yang sesuai dengan iman yang akan mereka anut. Mepamit dalam situasi ini tidak hanya merupakan upacara formal, tetapi juga merupakan representasi penting dari transisi kehidupan bagi individu tersebut dan budaya yang ditinggalkannya.
Mepamit memiliki makna yang sangat dalam di budaya Bali. Penelitian berjudul “Upacara Pawiwahan dalam Agama Hindu” oleh Luh Sukma Ningsih dan I Wayan Suwendra yang diterbitkan pada tahun 2020 dalam Jurnal Widya Sastra Pendidikan Agama Hindu menunjukkan bahwa upacara mepamit biasanya dilakukan di rumah keluarga wanita. Upacara ini dilakukan setelah kedua belah keluarga setuju untuk berkumpul di rumah calon pengantin wanita pada hari yang telah ditentukan.
Dalam proses mepamit, pihak keluarga dan calon pengantin akan datang ke kediaman keluarga wanita dengan membawa beberapa sarana banten yang terdiri dari Alem Ketipat, bantal Sumping Cerorot, Apem, Kuskus, Wajik, Kekupa, dan berbagai macam buah dan lauk pauk khas Bali. Calon pengantin wanita akan melakukan persembahyangan di sanggah atau merajan milik keluarganya dengan dipimpin oleh pemangku sanggah. Selanjutnya, pihak keluarga pria dan calon pengantin akan membawa beberapa banten, dan calon pengantin wanita akan diberikan percikan air suci yang menandakan pembersihan. Dalam proses ini turut diperlihatkan kepada keluarga pengantin perempuan, masyarakat setempat, dan tokoh adat atau agama yang menjadi saksi untuk mengesahkan hubungan pernikahan keduanya.
Dengan demikian, upacara mepamit yang akan dilakukan Mahalini dan Rizky Febian adalah lebih dari sekadar tradisi; itu adalah simbol perpisahan dan permohonan restu untuk kehidupan yang akan datang. Ini adalah kesepakatan keluarga untuk memulai hidup baru bersama dan meminta restu kepada leluhur mereka untuk masa depan mereka. Nah, Smart Listeners, tradisi ini sangat mengingatkan kita akan betapa pentingnya ikatan keluarga dan kebersamaan dalam perjalanan hidup, bukan?
Penulis: Jenny Shintya
Editor: Aulia Fajrina Firdausia